Sabtu, 16 Januari 2010

Perilaku Agresif Remaja

Perilaku Agresif Remaja
| 0 comments ]
Hari senin tanggal 23 kemarin hati saya terasa miris ketika melihat berita di sebuah stasiun televisi swasta, di mana dua kelompok remaja yang masih mengenakan seragam putih-biru terlibat baku-hantam di sebuah jalan ibu kota Jakarta. Ya, itulah anak-anak pelajar SLTP kita yang sedang saling serang satu sama lainnya, alias tawuran.

Kejadian itu langsung mengingatkan saya pada 1 tahun yang lalu, dimana masyarakat kita digegerkan dengan tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh remaja kita, di Bandung dengan genk Motornya, di Pati dengan genk Neronya, serta di tempat-tempat lainnya yang tidak sempat terekspos oleh media. Itulah salah satu sisi kehidupan remaja di negara tercinta kita ini, yang konon akan menjadi generasi penerus bangsa.

Bagi masyarakat kita, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Seperti yang kita ketahui bersama untuk saat ini beberapa televisi (baik nasional maupun lokal) bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan.

Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, di kompleks-kompleks perumahan, bahkan di pedesaan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua
Aksi-aksi kekerasan yang sering dilakukan remaja sebenarnya adalah prilaku agresi dari diri individu atau kelompok. Agresi sendiri menurut Scheneiders (1955) merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non verbal.

Agresif menurut Murry (dalam Halll dan Lindzey,1993) didefinisiakan sebagi suatui cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.

Perilaku agresif menurut David O. Sars (1985) adalah setiap perilkau yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang.

Sedangkan menurut Abidin (2005) agresif mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik yang pertama, agresif merupakan tingkah laku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua, agresif merupakan suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Karakteristik yang ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa prilaku agresif adalah sebuah tindakan kekerasan baik secara verbal maupun secara fisik yang disengaja dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap orang lain atau objek-objek lain dengan tujuan untuk melaukai secara fisik maupun psikis.

Pertanyaannya kemudian adalah faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi pemicu perilaku agresi tersebut? Mengapa kasus-kasus sepele dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari dapat tiba-tiba berubah menjadi bencana besar yang berakibat hilangnya nyawa manusia? Mengapa Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi.

Menurut Davidoff perilaku agresif remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu:

a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteropada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogendan progresteronmenurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

2. Faktor lingkungan
Yang mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu:

a. Kemiskinan
Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonimi dan moneter menyebabkan pembengklakan kemskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Ya walau harus kita akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak membuatnnya berprilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya.

b. Anoniomitas
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identiras diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikkat dengan norma masyarakat da kurang bersimpati dengan orang lain.

c. Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.

Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992

3. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.


4. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki cirri-ciri aktifitas system saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan akarena adanya kesalahan yang muingkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak (Davidoff, Psikologi Suatu Pengantar, 1991). Pada saat amrah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif.

5. Peran belajar model kekerasan
Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hali ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif.

6. Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh ssesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercap[ai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berprilaku agresi.

7. Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Sejak manusia dilahirkan ke dunia ini ia akan melewati beberapa priode kehidupan hingga saat dia sampai ke liang lahad. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih hanyalah merupakan suatu proses wajar dalam hidup yang berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, dengan mengetahui faktor penyebab seperti yang dipaparkan di atas diharapkan dapat diambil manfaat bagi para orangtua, pendidik dan terutama para remaja sendiri dalam berperilaku dan mendidik generasi berikutnya agar lebih baik sehingga aksi-aksi kekerasan baik dalam bentuk agresi verbal maupun agresi fisik dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Khalil Gibran mengatakan bahwa anak adalah ibarat anak panah. Pertanyaannya, sudahkah anak panah ini memperoleh kebebasan untuk mengarahkan kemana yang ia tuju? Ataukah demi gengsi, atau apalah yang lain anak panah itu akan dibawa dan ditancapkan pada sasaran? Remaja adalah sebuah generasi dari suatu peradaban. Karenanya mempunyai peran strategis dalam perencanaan pembangunan dan bahkan pada arah serta pelaku pembangunan itu sendiri. Namun demikian perlakuan yang salah pada remaja baik yang nakal maupun yang tidak oleh para orangtua dan pengambil kebijakan justru akan berakibat semakin buruk pada peradaban bangsa itu.

Pertanyaan terakhir adalah sudahkan kita mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengarahkan perbuatannya kepada hal yang lebih positif?

Daftar Pustaka
David, Jonathan Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 2005.
Koeswara, E, Agresi Manusia. Bandung: PT Erasco. 1998.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
http: // www. E- psikologi. Com/ epsi/ individual detail. Asp ?id= 380

Selengkapnya>>>
| 2 comments ]
Intelegensi atau kecerdasan diartikan dalam berbagai dimensi oleh para ahli. Donald Stener, seorang Psikolog menyebut intelegensi sebagai suatu kemampuan untuk menerapkan pegetahuan yang sudah ada untuk memecahkan berbagai masalah. Tingkat intelegensi dapat diukur dengan kecepatan memecahkan masalah-masalah tersebut.

Intelegensi secara umum dapat juga diartikan sebagai suatu tingkat kemampuan dan kecepatan otak mengolah suatu bentuk tugas atau keterampilan tertentu. Kemampuan dan kecepatan kerja otak ini disebut juga dengan efektifitas kerja otak. Potensi intelegensi atau kecerdasan ada beberapa macam yang dapat didentifikasikan menjadi beberapa kelompok besar yaitu;

1. Intelegensi Verbal-Linguistik
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan bahasa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis.

2. Intelegensi Logical-Matematik
Merupakan kecerdasan dalam hal berfikir ilmiah, berhubungan dengan angka-angka dan simbol, serta kemampuan menghubungkan potongan informasi yang terpisah.

3. Intelegensi Visual Spasial
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan seni visual seperti melukis, menggambar dan memahat. Selain itu juga kemampuan navigasi, peta, arsitek dan kemampuan membayangkan objek-objek dari sudut pandang yang berbeda.

4. Intelegensi Kinestetik Tubuh
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan atau disebut juga dengan bahasa tubuh (body language). Kecerdasan ini berhubungan dengan berbagai keterampilan seperti menari, olah raga serta keterampilan mengendarai kendaraan.

5. Intelegensi Ritme Musikal
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan mengenali pola irama, nada dan peta terhadap bunyi-bunyian.

6. Intelegensi Intra-Personal
Kecerdasan yang berfokus pada pengetahuan diri, berhubungan dengan refleksi, kesadaran dan kontrol emosi, intuisi dan kesadaran rohani. Orang yang mempunyai kecerdasan intra-personal tinggi biaasanya adalah para pemikir (filsuf), psikiater, penganut ilmu kebatinan dan penasehat rohani.

7. Intelegensi Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan keterampilan dan kemampuan individu untuk bekerjasama, kemampuan berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. Seseorang dengan tingkat kecerdasan Intrapersonal yang tinggi biasanya mampu membaca suasana hati, perangai, motivasi dan tujuan yang ada pada orang lain. Pribadi dengan Potensi Intelegensi Interpersonal yang tinggi biasanya mempunyai rasa empati yang tinggi.

8. Intelegensi Emosional
Kecerdasan yang meliputi kekuatan emosional dan kecakapan sosial. Sekelompok kemampuan mental yang membantu seseorang mengenali dan memahami perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan diri sendiri.

Setelah mengetahui beragam potensi intelegensi, kita dapat meningkatkan dan menciptakan intelegensi atau kecerdasan dengan melatih otak melalui cara-cara yang tepat. Dan menurut para ahli potensi untuk meningkatkan kecerdasan ini dapat terjadi pada usia berapa saja. Walaupun masih diakui bahwa faktor genetik juga berperan menentukan tingkat kecerdasan, tak dapat dipungkiri juga kalau stimulasi yang benar juga berpengaruh untuk menciptakan orang-orang cerdas.

Jadi berapapun usia anda, apapun profesi anda, kenali potensi kecerdasan yang anda miliki. Ingin terlihat lebih cerdas dan menjadi lebih cerdas? Lakukan stimulasi yang benar terhadap potensi intelegensi yang anda miliki.
Selengkapnya>>>
| 7 comments ]
LEDAKAN bom di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu meninggalkan trauma yang cukup dalam. peristiwa itu juga mengingatkan kita pada serangkian teror bom yang telah terjadi di masa lalu, baik di Bali atau di Jakarta sendiri. Dan satu hal yang tidak bisa kita hindari adalah adanya opini yang mengaitkan peristiwa tersebut dengan Islam dan aktifitasnya. Dari hasil penyelidikan dan pengembangan, ada sekelompok orang yang terorganisiasi melakukan pengeboman dengan label Islam. Namun hal tersebut tidak bisa digeneralisir atas dasar Islam dan oleh aktivis Islam, apalagi sampai muncul istilah Islam militan, Islam garis keras, Islam fundamentalis, atau bahkan yang lebih buruk "ISLAM AGAMA TERORIS".

Sebagai umat Islam, kami sangat mengutuk serangan teroris di Jakarta pada 17 Juli 2009 dan di tempat-tempat lainnya, yang menyebabkan kematian dan cedera dari bagi orang-orang tak bersalah, dan kami turut berduka kepada kepada para korban.

Dan yang tak kalah penting bagi kita sebagai orang-orang yang mencintai kedamaian adalah tugas untuk menerangkan kepada seluruh dunia bahwa Islam sangat dan sangat mengutuk tindak terorisme. Karena Islam adalah agama perdamaian dan toleransi yang memerintahkan individu kepada rasa kasih sayang dan keadilan. Agama memerintahkan kasih sayang, kemurahan hati dan kedamaian. Teror, di sisi lain, adalah berlawanan dari agama; kejam, tanpa belas kasihan dan menumpahkan darah dan penderitaan. Ini yang menjadi perkara, asal mula dari tindakan terorisme harus dicari dalam ketidakpercayaan bukannya di dalam Agama.

Dengan demikian kata "Islam" dan "teror" tidak dapat berdiri berdampingan dan bahwa tidak ada agama yang mengizinkan kekerasan. Bahwa tidak ada ruang bagi terorisme dalam Islam. Ini diebutkan jelas dalam Al Qur'an, sumber utama Islam, dan dalam praktek yang memerintahkan semua kaum muslimin kepada kebenaran, Nabi Muhammad SAW yang mengedepankan diantara mereka.

Berikutnya mari kita ungkapkan dengan terang ayat-ayat Al Qur'an dan dengan contoh-contoh dari sejarah, bahwa Islam melarang terorisme dan bertujuan untuk membawa perdamaian dan keamanan ke seluruh dunia.

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An Nahl : 90)

MORAL ISLAM : SUMBER KEDAMAIAN DAN KEAMANAN

Beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu boleh dilakukan atas nama agama, kenyataanya, salahpaham bahwa agama dan buah hasilnya, prakteknya adalah salah. Oleh karena itu, ia akan menjadi salah dalam membentuk pemikiran agama dan orang-orang ini sebagai contoh. Cara yang terbaik dari pemahaman agama adalah kepada pembelajaran sumber ilahi.

Sumber ilahi Islam adalah Al Quran, yang didasarkan pada konsep-konsep moralitas, cinta, kasih sayang, kerendahan hati, berkorban, toleransi dan perdamaian. Seorang muslim hidup dari ajaran ini dalam arti akan lebih sopan, hati-hati, rendah hati, sederhana, adil, dapat dipercaya dan mudah untuk menerimanya. Dia akan menyebarkan cinta, hormat, keselarasan dan kegembiraan hidup di sekelilingnya.

Islam adalah Agama Damai

Teror, dalam arti luas, adalah kekerasan terhadap sasaran non-militer untuk tujuan politik. Untuk meletakkannya dengan cara lain, target dari teror adalah warganegara yang seluruhnya tidak bersalah kepada siapa yang hanya berbuat kriminal, dimata teroris, adalah untuk mewakili "sisi lain". Untuk alasan ini, teror berarti subjek orang tak bersalah kepada kekerasan, yang merupakan tindakan kehilangan pembenaran moral apapun. Ini, seperti dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Hitler atau Stalin, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Al Quran adalah Kitab yang diturunkan kepada orang-orang sebagai panduan ke jalan yang benar dan dalam kitab ini, Tuhan memerintahkan manusia untuk mengadopsi moral yang baik. Moralitas ini adalah berdasarkan konsep seperti cinta, rasa kasihan, toleransi dan kemurahan hati. Kata "Islam" berasal dari kata yang berarti "damai" dalam bahasa Arab. Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dengan tujuan menghadirkan perdamaian melalui kehidupan yang tak terbatas rasa kasih dan rahmat nyata Allah di bumi. Allah memanggil ke semua moral orang Islam melalui rasa kasihan, rahmat, perdamaian dan toleransi yang dapat dialami seluruh dunia. Dalam Surat Al Baqarah, ayat 208, Allah berfirman berikut:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al Baqarah : 208)

Ayat ini menjelaskan, keamanan hanya dapat dipastikan oleh "masuk ke dalam Islam", yaitu hidup dengan nilai-nilai Al Qur'an. Nilai-nilai dari Al Quran terus seorang Muslim bertanggung jawab untuk memperlakukan semua orang, nilai-nilai Al Quran menjaga seorang muslim yang bertanggung jawab untuk memperlakukan semua orang, baik muslim maupun non-muslim, baik hati dan adil, melindungi mereka yang memerlukan dan tak bersalah dan "mencegah penyebaran kerusakan". Kerusakan terdiri dari segala bentuk anarki dan teror yang menghapus keamanan, kenyamanan dan kedamaian. Allah berfirman dalam ayatnya : “……dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS. Al Baqarah : 205)

Membunuh orang tanpa alasan adalah salah satu contoh yang paling jelas dari kerusakan. Allah mengulangi perintah-Nya dalam Al Quran yang sebelumnya mengungkapkan ke orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama :

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itusungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al Maa'idah : 32)

Ayat ini menerangkan, orang yang membunuh bahkan satu orang, "kecuali dalam balasan untuk orang lain atau menyebabkan kerusDalam kasus ini, jelas adalah dosa besar membunuh, pembunuhan secara besar-besaran dan penyerangan, diketahui dikenal sebagai "serangan buhuh diri", yang dilakukan oleh teroris.

Allah memberitahu kepada kita bagaimana muka terorisme kejam ini akan dihukum di akhirat pada ayat berikut:

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS Asy Syuura:42)

Semua ini mengungkapkan bahwa tindakan organisasi teroris terhadap orang-orang tidak bersalah sepenuhnya bertentangan terhadap Islam dan in tidaklah mungkin bahwa setiap Muslim dapat pernah melakukan kejahatan seperti itu. Sebaliknya, umat Islam bertanggung jawab untuk menghentikan orang-orang ini, menghapus "kerusakan di bumi" dan membawa perdamaian dan keamanan untuk semua orang di seluruh dunia. Islam tidak dapat didamaikan dengan teror. Sebaliknya, ia harus menjadi solusi dan jalan untuk pencegahan teror.

ALLAH TELAH MENGUTUK KEJAHATAN

Allah telah memerintahkan orang-orang untuk menghindari melakukan kejahatan: penindasan, kekejaman, dan pembunuhan besar-besaran adalah sepenuhnya dilarang. Dia menjelaskan mereka yang tidak mentaati perintah-Nya sebagai "pengikut jejak Iblis" dan mengadopsi suatu sikap yang dinyatakan terbuka untuk berdosa dalam Alquran.

Beberapa dari sekian banyak ayat tentang hal ini dalam Al Qur'an :

.....Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (QS. Ar Ra'd : 25)

.....Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. Al Baqarah 60 )

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al A'raaf : 56)

Dengan demikian Islam sangat mencintai kedamaian dan sangat mengutuk tindak terorisme karena Isalam di turunkan ke bumi adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh semesta "Rahmatul lil 'alamin". :)




Selengkapnya>>>
| 5 comments ]
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.

Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar atau mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.

Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002: 273)

Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002: 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 1998: xvii)

Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 1998: 250)

Siswa bukanlah benda mati yang hanya bergerak bila ada daya dari luar yang mendorongnya, melainkan mahluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak yaitu motivasi. Dengan adanya motivasi, manusia kemudian terdorong unutk melakukan suatu tindakan atau perilaku, yang termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk berprestasi tinggi di dalam belajar. (Irwanto, 1997: 184)

Arden N. Fardesen mengatakan bahwa hal yang mendorong seorang untuk belajar adalah:
a. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amant luas.
b. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
d. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koprasi maupun dengan kompetisi.
e. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
f. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar. (Suryabrata, 1998: 253)

Keenam poin tersebut adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa. Bila seorang siswa mampu mengaturnya dengan baik, hal tersebut menunjukan kecerdasan emosional yang baik dan akan memberikan sumbangan yang besar terhadap prestasi baiknya dalam belajar. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka siswa akan terhambat dan menhalami kesulitan dalam belajar.

Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Sebaliknya siswa yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur emosi mereka.

Selengkapnya>>>
| 2 comments ]
Sejak diberlakuakn untuk pertama kali tahun 2005 sampai tahun 2009 sekarang, Ujian Nasional (UN) belum bisa terhindar kecurangan, baik itu oknum guru yang mencuri soal maupun murid yang mendapatkan kunci jawaban lewat HP.

Setikdaknya untuk tahun ini kecurangan dalam penlaksanaan UN ditemukan di empat daerah, yakni Deliserdang (Sumatera Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), Solo (Jawa Tengah), dan Batam (Kepulauan Riau). Delapan oknum kepala sekolah, 26 oknum guru, dan 13 orang oknum petugas tata usaha terpaksa berurusan dengan aparat hukum akibat kecurangan tersebut. Itu belum ditambah dengan kecurangan-kecurangan lainnya yang tidak terekspos ke publik.

Berpijak dari hal tersebut, maka tidaklah heran bila protes dan ktitik terus mengiringi perjalanan UN yang oleh pemerintah disebut sebagai peningkatan kualitas pendidikan nasional. Walau sudah demikian adanya, tapi itulah pemerintah tidak pernah bergeming atas pendiriannya. Bak kata pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu. Sebuah pertanyaan pantas diajukan, apakah benar UN relevan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kalu kita sekilas menengok kualitas pendidikan di negara kita. Cara mudah untuk melihat kualitas pendidikan di sebuah negara adalah dengan melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berhasil dihasilkan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UNDP tahun 2006 tentang indeks kualitas SDM menempatkan Indonesia pada kurtan ke-110 dari 177 negara yang diteliti. Penelitian sebelumnya membenarkan, bahwa laporan Human Development Index (HDI UNDP) pada tahun 2000? menunjukkan kalau pembangunan kualitas manusia Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari 174 negara di dunia, Indonesia menduduki urutan ke 109. Vietnam yang baru berkembang justru lebih baik dari Indonesia, yaitu pada urutan 108. Cina pada urutan 99, Srilangka pada urutan 84, Malaysia urutan 61, dan Singapura pada urutan 44.? Pada tahun 2002, Indonesia turun lagi ke urutan 110, dan pada tahun 2003 turun lagi ke urutan 112. Pada tahun 2004, berada di urutan 111.

Melihat hasil yang ada tersebut, itu artinya SDM kita masih sanggat memperhatinkan, lalu sebenarnya ada apa dengan dunia pendidikan kita? Sudah benarkah sistem pendidikan yang diimpelmentasikan? Sudah tepatkan filosofi pendidikan kita dalam upaya membangun SDM?

Jika sekolah-sekolah di Amerika dan Jerman tidak memberlakukan ujian akhir, karena ujian atau evaluasi merupakan tahapan yang tidak terpisah dari proses pembelajaran. Dalam situasi tersebut, kemampuan anak sudah bisa diktahui atau dijadikan estandar kelulusan siswa.

Selama dalam proses pembelajaran tersebut, bila nilai-nilai yang diperoleh siswa tidak memenuhi estándar yang telah ditetapkan oleh sekolah, maka siswa disuruh mengulang atau dimasukan dalam karantina yang kemudian diberi pelatihan-pelatihan secara khusus yang mendukung kemampuannya.

Saat siswa itu banyak yang tidak mampu memenuhi standar pelulusan, maka secepatnya pengelola sekolah melakukan evaluasi secara menyeluruh, seperti kondisi sarana pembelajaran, metode pengajaran yang diterapkan guru, kondisi hubungan antara orang tua dan siswa, lingkungan yang mendukung pertumbuhan emosi dan fisik siswa, dan lain sebagainya, yang kesemua aspek ini dijadikan bahan pertimbangan dalam membinanya lebih lanjut, termasuk menyiapkan proses pembelajaran yang lebih kondusif.

Siswa di Indonesia beda dengan di negara-negara tersebut. Di negeri ini, siswa masih diperlakukan layaknya zombi atau mayat hidup yang berjalan kesana-kemari yang digerakkan oleh mesin kebijakan yang represif. Dalam kasus ini jelas hak-hak strategis untuk berekspresi, mengembangkan diri, beretos belajar tinggi, atau memaninkan peran progresif dalam pembelajaran yang benar, telah dikalahkan oleh produk kebijakan yang memberlakukan siswa sebagai wayang yang harus mengikuti secara mutlak politik pendidikan yang diberlakukan pemerintah. Kasus Ujian Nasional merupakan sampel kebijakan represif yang membenarkan bahwa siswa tidak ubahnya sebagai obyek yang nasibnya ditentukan oleh negara.

Pemerintah harus mengakui kalu Ujian Nasioanl tidaklah bisa dijadikan satu-satunya faktor penentu kelulusan siswa. Sebab, kualitas dan mutu pendidikan merupakan hasil evaluasi dari tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris. Apabila ketiga hal ini tidak diperoleh dari diri siswa, maka mutu dan kualitas itu jauh dari harapan.

UN jelas-jelas tidak memenuhi tiga rahan tersebut, melaikan hanya fokus pada satu rahan, yaitu ranah kognitif. Idealnya, UN itu hanya alat evaluasi nasional tapi bukan penentu kelulusan siswa di akhir masa setudinya. Bagaimana mungkin jerih payah siswa selama tiga tahun hanya ditentukan dalam waktu tiga hari dan dalam mata pelajaran tertentu saja?

Maka jangan disalahkan kalau mereka menjadi siswa yang pragmatis, yang tak mau mengikuti proses pembelajaran bertele-tele, atau belajar tidak serius, tidak mau susah-susah mengerjakan pekerjaan rumah (PR), dan kerja keras lainnya, karena mereka menilai, apapun yang diperbuatnya selama proses pembelajaran, tidak akan memberikan kontribusi terhadap kelulusannya.

Harapan saya sebagai mahasiswa jurusan pendidikan dan kelak akan berkecimpung di dunia pendidikan, Ujian Nasional lebih baik ditiadakan. Kembalikan evaluasi siswa kepada sekolah, sebagaimana amanat UU (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 58). UN cukup difungsikan sebagai pemetaan kualitas saja yang kemudian dijadikan pemerintah sebagai salah satu landasan untuk memperbaiki layanan pendidikan.


Selengkapnya>>>
| 2 comments ]
Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995)

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).

Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).

Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.

Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :

a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.


Goleman, Daniel. (2004). Emitional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ). Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel, Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Gottman, John, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Selengkapnya>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar